Malam ini saya kembali memikirkan DIA.
Setiap kali aku mengalami konflik dengan orang yang kuanggap sahabat’ aku pasti
akan langsung memikirkan DIA.
Suasana hati
sedang tidak enak, moreover kondisi
kesehatan juga kurang baik… membuatku benar-benar tidak ingin melakukan apapun
hari ini dan beberapa hari ke depan. Aku bahkan tidak sanggup menatap lama-lama
tumpukan kertas-kertas laporan of which
deadline is three days later.
Terdiam dan berbaring
sejenak membuatku mengingat konflik hari ini. Konflik yang telah membuatku
terpaksa pulang dari kampus meskipun tengah hujan keras. Truthfully, aku juga tidak ingat hal apa tadi yang membuatku pergi
begitu saja meninggalkan sahabatku dengan suasana hati yang sedikit marah.
Hanya beberapa kata dalam conversation
kami tadi dan itu langsung membuatku beranjak pergi darinya.
Inilah yang membuatku kembali mengingat seseorang yang juga pernah kutinggalkan
dan sampai sekarang kami tidak pernah bertemu kembali. Dia adalah my first best friend, orang yang pertama
kali membuatku percaya akan adanya sahabat. Dia juga orang yang selalu
membuatku tertawa, nyaman, dan aman bila berada di sisinya. Dia sangat baik dan
sangat takut membuatku terluka. Aku tahu itu karena Dia pernah mengatakannya
ketika pernah sekali aku menangis karena Dia. Dia tidak berbuat kesalahan
apapun ketika aku memutuskan menjauhinya. Akulah yang bersalah padanya. Sebuah
kesalahan besar karena aku telah menganggapnya lebih dari seorang sahabat. And I realize, itu tidak boleh.
Aku tidak ingin perasaanku ini
membuatku melakukan kesalahan yang semakin besar. Therefore, aku menjauh dari Dia. Membuat pembatas setinggi mungkin
agar tidak bisa bertemu dengannya dan Dia pun tidak akan bisa melihatku lagi.
Menghindari setiap kegiatan yang dapat mempertemukanku dengan Dia. Maaf… Maaf…
Maaf... Dan beribu-ribu maaf ingin kuucapkan padanya.
Masa yang paling
berat yaitu ketika di awal aku menghindarinya. Dia terus berusaha
menghubungiku, mengajak ingin bertemu dengan berkata bahwa saat ini dia ingin
berbagi cerita tentang masalah dan kebahagiaan yang dialaminya. Entah sekuat
apa aku saat itu sehingga mampu menolak semua ajakannya, menghapus pesan-pesan
darinya di hp, mengabaikan panggilan masuk darinya, inbox di facebook, mention
di twitter, chatting di Yahoo Messanger! dan di berbagai social network yang lain. Itu benar-benar membuatku sakit dan
merasa sesak di dada, heartbreak.
Saat itu, aku hanya berpikir akan mengabaikan segala tentangnya beberapa waktu
saja. Sampai Tuhan membuatku sadar, back
to my sense.
Sekarang, setelah
bertemu dengan Mr. R, aku sudah mampu mengendalikan perasaanku padanya. Bahkan
aku mungkin sudah tidak berpikir lagi tentang ‘menganggapnya lebih dari seorang
sahabat’. Tetapi itu sudah terlambat. Aku tidak akan bisa kembali menemuinya
seperti dulu lagi. Aku merasa sangat bersalah padanya. Benar-benar tidak ada
keberanian untuk mengirimkan pesan singkat padanya,”Kamu dimana? Aku kangen,
sahabatku….”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar