Kamis, 20 September 2012

Journey to Present, Left Feet




          Annyeonghaseyo! How are you everybody? Senang sekali Author masih bisa menulis dan melanjutkan karya-karyanya yang sempat tertunda beberapa hari ini. Hhu~, Cute Author  punya beberapa urusan sih.Hm, membahas tulisan yang satu ini, sejujurnya Author ingin menyentuh hati beberapa orang yang special. Yang mungkin sekarang sedang berpikir bahwa tokoh ‘Anak Pengembara’ itu adalah dirinya. Hhe~… semoga seperti itu. Meskipun cerita ini seperti special di tulis untuk beberapa orang, namun Author berharap kalau yang lain juga bisa merasakan kepedulian yang sama untuk orangtuanya. Tenang aja, sifat tulisan ini global kok. Semua anak pasti sayang pada orangtuanya. Karena… orangtua itu adalah hadiah terindah yang diberikan ALLAH SWT untuk seluruh anak di dunia ini. Maka dari itu salah sebenarnya kalau orang menganggap bahwa Anak hadiah untuk orangtua karena sebenarnya orangtua adalah hadiah bagi anak.

Title       : Left Feet
Author  : Cute Yhuree
Cast       : ~

Sepasang kaki seorang anak yang mengembara melangkah perlahan-lahan di sebuah kebun bunga yang indah, penuh warna, dan mempesona. Diamatinya satu persatu bunga yang dilalui di kebun itu dengan mata yang berbinar. Tak khayalnya orang yang sedang jatuh cinta. Semuanya begitu indah.



Semakin masuk ke kebun itu, semakin didapatinya keindahan yang ada di sana. Di sana, ditemuinya pula sebuah rumah yang sederhana yang terletak persis di tengah-tengah kebun.  Meski nampak sederhana, namun ia merasa bahwa rumah itu penuh dengan emas permata, yang walaupun dilihat dari jauh tetap saja nampak berkilau.
Dia kini mendengar suara lagu yang indah, seperti sebuah orchestra yang sedang dimainkan oleh pemain-pemain yang berbakat. Dia menengok pada sisi kanannya dengan lembut, matanya terhenti pada seorang lelaki tua yang terlihat sedang membuat ayunan dengan beberapa perkakas sederhananya. Ia merasa tertarik dengan lelaki tua itu sambil terus berjalan. Tanpa terasa wajahnya kini sudah tepat di depan wajah lelaki tua itu. Namun lelaki tua sama sekali tidak mempedulikannya. Maka ia memutuskan hanya berdiri mengamati lelaki tua itu bekerja dan tak berbuat apapun selain tersenyum padanya.
Tiba-tiba air matanya menetes dan membasahi kedua pipinya. Apa yang sudah terjadi? Tangan lelaki tua itu berlumuran darah karena membuat ayunan itu. Tetapi lelaki tua itu tidak berhenti mengerjakannya dan tetap tersenyum. Hingga ayunan itu kini hampir jadi.
Kaki anak yang mengembara itu kini mundur perlahan-lahan dari tempat lelaki tua itu. Dan kini sedang berjalan dengan anggun ke sisi yang berlawanan, sisi kirinya. Matanya terhenti pada seorang wanita tua yang terlihat sedang merajut sebuah baju hangat. Lagi-lagi ia merasa tertarik pada wanita tua itu. Sehingga ia mendekatinya dan kini tepat berada di sampingnya. Dia tidak perlu waktu yang lama untuk meneteskan air matanya lagi. Air mata itu telah jatuh dengan sendirinya ketika melihat tangan wanita tua itu juga sedang berdarah. Dia bertanya dalam hatinya, ada apa dengan penghuni kebun ini? Mengapa mereka semua rela berdarah ‘tuk menyelesaikan pekerjaannya? Dan untuk siapa mereka rela melakukan itu semua?
Tak habis dia memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab itu, tiba-tiba muncul sesosok gadis mungil yang datang menghampiri wanita tua itu. Gadis mungil itu bernama Ana. Ya, Ana. Entah darimana dia tahu. Dia mungkin hanya menebak-nebak saja. Tapi tebakan itu benar.
Wanita tua itu buru-buru melap tangannya yang berdarah dengan bajunya. Kemudian wanita tua itu memakaikan hasil rajutannya pada Ana. Anak itu, anak yang mengembara tadi, bahkan bisa merasakan kebahagiaan Ana.
Ana kini berlari menghampiri lelaki tua yang membuat ayunan tadi. Seakan langkahnya telah menyatu, anak itu berlari mengikuti Ana. Sesampainya di sana, di tempat lelaki tua itu, anak itu melihat lelaki tua itu melap tangannya dengan bajunya lalu memeluk Ana dengan wajah bahagia. Anak itu lagi-lagi menangis.
Ya, dia masih terus menangis melihat semua itu. Melihat lelaki tua itu bermain ayunan bersama Ana, melihat wanita tua tadi juga kini sudah berada di samping lelaki tua itu dan mendorong ayunan bersama-sama. Mereka semua bahagia dan tertawa lepas. Tak ada air mata, kecuali anak itu, yang kini merasa hati dan otaknya seperti mendidih, perih, sakit. Dan dia kini terjatuh. Apa ini semua?
Anak itu kini pingsan, jatuh semakin dalam, dalam ketidaksadarannya. Dia merasa aneh dengan semua yang dilihatnya. Dia merasakan apa yang Ana rasakan. Langkah kaki, senyuman, memakai rajutan, bahkan dekapan lelaki tua tadi juga dapat dia rasakan. Tidak mungkin, ini adalah pertemuan pertama mereka. Tidak mungkin anak itu adalah…. Ya, Ana adalah dirinya.
Anak itu adalah Ana, kepalanya mulai memutar kembali memori dulu. Memori disaat dia tinggal di kebun ini. Kenangan di rumah sederhana itu, bermain ayunan bersama Ayah, dan setiap musim berganti dia akan menerima rajutan dari ibunya. Itu semua adalah kenangannya. Ana memang dirinya.
Anak itu mulai terbangun dan perlahan-lahan membuka matanya. Perasaannya saat ini benar-benar bahagia. Dia ingin segera berlari dan memeluk orang tuanya.
Namun ketika dia membuka matanya, dia tidak mendapati siapapun di sana. Hanya dia sendiri. Anak itu kini merasa sangat sedih. Dia berlari masuk ke dalam rumah sederhananya. Dan dia kembali tersenyum. Ayah, ibu, dan Ana ada di dalam. Tapi kini Ana bukan gadis mungil lagi. Ana sudah remaja, sudah tidak bermanja lagi kepada orangtuanya. Tiba-tiba anak itu mendengar suara keras Ana pada kedua orangtuanya. Ana dinasehati, namun dia malah menutup kedua telinganya dan berlari keluar rumah. Anak itu kini merasakan gemuruh di dalam hatinya.
Anak itu menunggu di sana, di dalam rumah itu bersama Ayah dan Ibunya. Hingga malam tiba, Ana belum kembali ke rumah itu. Ayah dan Ibunya kini menangis. Letih dalam penantian dan semua orang tertidur. Hingga keesokan harinya, Ana belum juga pulang.
Saat terbangun, suasana rumah itu telah berubah lagi. Semua barang yang ada di sana telah usang dan mulai rusak, kecuali barang yang ada di kamar Ana dan ayunan yang ada di halaman depan. Hanya itulah barang yang masih terawat. Terdengar suara langkah kaki dari pintu depan. Anak itu memutuskan untuk menengok siapa yang sedang masuk ke dalam rumah.

Terdiam kaku melihat sosok yang ditemuinya dan tak mampu menyapa. Yang datang itu Ana dengan keadaan yang jauh berbeda sebelum dia pergi meninggalkan rumah. Dia memakai baju dan celana berwarna hitam, kerudung hitam, dan kacamata hitam. Seperti waktu telah berlalu sepuluh tahun. Dan Ana baru kembali ke tempat ini. Anak itu berpikir baguslah. Ayah dan Ibu pasti bahagia melihat dia pulang. Dia mengikuti langkah Ana masuk ke dalam kamar Ayah dan Ibunya. Tetapi, di sana kosong. Tidak ada mereka yang selalu menanti kepulangan Ana. Wajah cemas itu tidak ada lagi. Kemana mereka?

Dia melihat Ana menyentuh barang-barang di kamar itu. Terutama foto besar yang terpasang di dinding. Foto Ayah, Ibu, dan Ana. Tentu Ana pasti menangis, kepulangannya yang sangat lama membuat dia merindukan segalanya. Tetapi, tangisannya itu sungguh berlebihan. Hingga tubuhnya terlihat begitu rapuh, hampir terjatuh. Anak itu juga baru menyadari kalau Ana tidak pernah melangkah dengan baik semenjak masuk ke dalam rumah ini. Langkahnya benar-benar hanya diseret. Dan akhirnya Ana pun terjatuh. Anak itu segera berlari menghampiri Ana dan berusaha mengangkatnya. Tetapi keanehan terjadi lagi padanya.

Sosok Ana memudar dari penglihatannya dan keadaan di sekitarnya berubah menjadi asap. Semua terlihat putih. Tetapi dia tidak meninggalkan tempat itu, hanya bertahan di sana. Dan saat semua asap itu menghilang sehingga sekitarnya tampak jelas kembali, dia tidak di rumah itu lagi. Dia berdiri tepat di depan dua buah nisan yang saling berdampingan dan bertuliskan nama Ayah dan Ibu.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar