Annyeonghaseyo! How are you
everybody? Senang sekali Author masih bisa menulis dan melanjutkan
karya-karyanya yang sempat tertunda beberapa hari ini. Hhu~, Cute Author punya beberapa urusan sih.Hm, membahas
tulisan yang satu ini, sejujurnya Author ingin menyentuh hati beberapa orang
yang special. Yang mungkin sekarang sedang berpikir bahwa tokoh ‘Anak
Pengembara’ itu adalah dirinya. Hhe~… semoga seperti itu. Meskipun cerita ini
seperti special di tulis untuk beberapa orang, namun Author berharap kalau
yang lain juga bisa merasakan kepedulian yang sama untuk orangtuanya. Tenang
aja, sifat tulisan ini global kok. Semua anak pasti sayang pada orangtuanya.
Karena… orangtua itu adalah hadiah terindah yang diberikan ALLAH SWT untuk
seluruh anak di dunia ini. Maka dari itu salah sebenarnya kalau orang
menganggap bahwa Anak hadiah untuk orangtua karena sebenarnya orangtua adalah
hadiah bagi anak.
Title : Left Feet
Author : Cute Yhuree
Cast : ~
Sepasang kaki seorang
anak yang mengembara melangkah perlahan-lahan di sebuah kebun bunga yang indah,
penuh warna, dan mempesona. Diamatinya satu persatu bunga yang dilalui di kebun
itu dengan mata yang berbinar. Tak khayalnya orang yang sedang jatuh cinta.
Semuanya begitu indah.
Semakin masuk ke
kebun itu, semakin didapatinya keindahan yang ada di sana. Di sana, ditemuinya
pula sebuah rumah yang sederhana yang terletak persis di tengah-tengah
kebun. Meski nampak sederhana, namun ia
merasa bahwa rumah itu penuh dengan emas permata, yang walaupun dilihat dari
jauh tetap saja nampak berkilau.
Dia kini
mendengar suara lagu yang indah, seperti sebuah orchestra yang sedang dimainkan
oleh pemain-pemain yang berbakat. Dia menengok pada sisi kanannya dengan
lembut, matanya terhenti pada seorang lelaki tua yang terlihat sedang membuat
ayunan dengan beberapa perkakas sederhananya. Ia merasa tertarik dengan lelaki
tua itu sambil terus berjalan. Tanpa terasa wajahnya kini sudah tepat di depan
wajah lelaki tua itu. Namun lelaki tua sama sekali tidak mempedulikannya. Maka
ia memutuskan hanya berdiri mengamati lelaki tua itu bekerja dan tak berbuat
apapun selain tersenyum padanya.
Tiba-tiba air
matanya menetes dan membasahi kedua pipinya. Apa yang sudah terjadi? Tangan
lelaki tua itu berlumuran darah karena membuat ayunan itu. Tetapi lelaki tua
itu tidak berhenti mengerjakannya dan tetap tersenyum. Hingga ayunan itu kini
hampir jadi.
Kaki anak yang mengembara itu kini mundur perlahan-lahan dari tempat lelaki tua itu. Dan
kini sedang berjalan dengan anggun ke sisi yang berlawanan, sisi kirinya.
Matanya terhenti pada seorang wanita tua yang terlihat sedang merajut
sebuah baju hangat. Lagi-lagi ia merasa tertarik pada wanita tua itu. Sehingga
ia mendekatinya dan kini tepat berada di sampingnya. Dia tidak perlu waktu yang
lama untuk meneteskan air matanya lagi. Air mata itu telah jatuh dengan
sendirinya ketika melihat tangan wanita tua itu juga sedang berdarah. Dia
bertanya dalam hatinya, ada apa dengan
penghuni kebun ini? Mengapa mereka semua rela berdarah ‘tuk menyelesaikan
pekerjaannya? Dan untuk siapa mereka rela melakukan itu semua?
Tak habis dia
memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab itu, tiba-tiba muncul
sesosok gadis mungil yang datang menghampiri wanita tua itu. Gadis mungil itu
bernama Ana. Ya, Ana. Entah darimana dia tahu. Dia mungkin hanya menebak-nebak
saja. Tapi tebakan itu benar.
Wanita tua itu
buru-buru melap tangannya yang berdarah dengan bajunya. Kemudian wanita tua itu
memakaikan hasil rajutannya pada Ana. Anak itu, anak yang mengembara tadi,
bahkan bisa merasakan kebahagiaan Ana.
Ana kini berlari
menghampiri lelaki tua yang membuat ayunan tadi. Seakan langkahnya telah
menyatu, anak itu berlari mengikuti Ana. Sesampainya di sana, di tempat lelaki
tua itu, anak itu melihat lelaki tua itu melap tangannya dengan bajunya lalu
memeluk Ana dengan wajah bahagia. Anak itu lagi-lagi menangis.
Ya, dia masih
terus menangis melihat semua itu. Melihat lelaki tua itu bermain ayunan bersama
Ana, melihat wanita tua tadi juga kini sudah berada di samping lelaki tua itu
dan mendorong ayunan bersama-sama. Mereka semua bahagia dan tertawa lepas. Tak
ada air mata, kecuali anak itu, yang kini merasa hati dan otaknya seperti
mendidih, perih, sakit. Dan dia kini terjatuh. Apa ini semua?
Anak itu kini
pingsan, jatuh semakin dalam, dalam ketidaksadarannya. Dia merasa aneh dengan semua
yang dilihatnya. Dia merasakan apa yang Ana rasakan. Langkah kaki, senyuman,
memakai rajutan, bahkan dekapan lelaki tua tadi juga dapat dia rasakan. Tidak
mungkin, ini adalah pertemuan pertama mereka. Tidak mungkin anak itu adalah…. Ya, Ana adalah dirinya.
Anak itu adalah
Ana, kepalanya mulai memutar kembali memori dulu. Memori disaat dia tinggal di
kebun ini. Kenangan di rumah sederhana itu, bermain ayunan bersama Ayah, dan
setiap musim berganti dia akan menerima rajutan dari ibunya. Itu semua adalah
kenangannya. Ana memang dirinya.
Anak itu mulai
terbangun dan perlahan-lahan membuka matanya. Perasaannya saat ini benar-benar
bahagia. Dia ingin segera berlari dan memeluk orang tuanya.
Namun ketika dia
membuka matanya, dia tidak mendapati siapapun di sana. Hanya dia sendiri. Anak
itu kini merasa sangat sedih. Dia berlari masuk ke dalam rumah sederhananya.
Dan dia kembali tersenyum. Ayah, ibu, dan Ana ada di dalam. Tapi kini Ana bukan
gadis mungil lagi. Ana sudah remaja, sudah tidak bermanja lagi kepada
orangtuanya. Tiba-tiba anak itu mendengar suara keras Ana pada kedua orangtuanya.
Ana dinasehati, namun dia malah menutup kedua telinganya dan berlari keluar
rumah. Anak itu kini merasakan gemuruh di dalam hatinya.
Anak itu
menunggu di sana, di dalam rumah itu bersama Ayah dan Ibunya. Hingga malam
tiba, Ana belum kembali ke rumah itu. Ayah dan Ibunya kini menangis. Letih
dalam penantian dan semua orang tertidur. Hingga keesokan harinya, Ana belum
juga pulang.
Saat terbangun,
suasana rumah itu telah berubah lagi. Semua barang yang ada di sana telah usang
dan mulai rusak, kecuali barang yang ada di kamar Ana dan ayunan yang ada di
halaman depan. Hanya itulah barang yang masih terawat. Terdengar suara langkah
kaki dari pintu depan. Anak itu memutuskan untuk menengok siapa yang sedang
masuk ke dalam rumah.
Terdiam
kaku melihat sosok yang ditemuinya dan tak mampu menyapa. Yang datang itu Ana
dengan keadaan yang jauh berbeda sebelum dia pergi meninggalkan rumah. Dia
memakai baju dan celana berwarna hitam, kerudung hitam, dan kacamata hitam. Seperti
waktu telah berlalu sepuluh tahun. Dan Ana baru kembali ke tempat ini. Anak itu
berpikir baguslah. Ayah dan Ibu pasti bahagia melihat dia pulang. Dia mengikuti
langkah Ana masuk ke dalam kamar Ayah dan Ibunya. Tetapi, di sana kosong. Tidak
ada mereka yang selalu menanti kepulangan Ana. Wajah cemas itu tidak ada lagi. Kemana mereka?
Dia
melihat Ana menyentuh barang-barang di kamar itu. Terutama foto besar yang
terpasang di dinding. Foto Ayah, Ibu, dan Ana. Tentu Ana pasti menangis,
kepulangannya yang sangat lama membuat dia merindukan segalanya. Tetapi,
tangisannya itu sungguh berlebihan. Hingga tubuhnya terlihat begitu rapuh,
hampir terjatuh. Anak itu juga baru menyadari kalau Ana tidak pernah melangkah
dengan baik semenjak masuk ke dalam rumah ini. Langkahnya benar-benar hanya
diseret. Dan akhirnya Ana pun terjatuh. Anak itu segera berlari menghampiri Ana
dan berusaha mengangkatnya. Tetapi keanehan terjadi lagi padanya.
Sosok
Ana memudar dari penglihatannya dan keadaan di sekitarnya berubah menjadi asap.
Semua terlihat putih. Tetapi dia tidak meninggalkan tempat itu, hanya bertahan
di sana. Dan saat semua asap itu menghilang sehingga sekitarnya tampak jelas
kembali, dia tidak di rumah itu lagi. Dia berdiri tepat di depan dua buah nisan
yang saling berdampingan dan bertuliskan nama Ayah dan Ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar