Selasa, 14 Februari 2012

Belajar Ngebangun Tembok Raksasa


AAAAAAIIIIIIUUUUUUUEEEEEEEOOOOOO~

Lagi dan lagi… Aku melakukan kesalahan padanya hari ini. Setiap kali kami akan bertemu, dalam hatiku selalu mengatakan “ya, hari ini 1 cm lebih dekat” but in fact “tidak, hari ini 5 cm lebih jauh”. Dan yang membuat jarak itu semakin jauh adalah diriku sendiri. Kebodohanku yang membuat tubuhku begitu beku dan kaku bila bertemu dengannya. Padahal kami sudah tahu satu sama lain saling menyukai. He must realize, how stupid I amL.
Setiap kali kami bertemu ataupun hanya berpapasan, dia selalu berusaha melebarkan senyum manis di wajahnya untukku. Tetapi, hal itulah yang membuatku tak bisa berekspresi dan melihatnya. Yang kulakukan pada saat-saat itu justru malah membuang wajah sejauh-jauhnya and just obey him. Uuugh~, ingin sekali kumasukkan kepala ini ke dalam tas kesayangannya Minwoo-Boyfriend untuk bersembunyi dan membuang kesal *jhahahaha~, itu mah ngarep*J
But whatever, again and again I have done it well… making a great wall among us. Ckckck~, kaya’nya memang sudah keahlianku memperlebar jarak, membangun tembok, bahkan tembok China atau tembok Berlin sekalipun sanggup kubangun dalam kisah percintaanku sendiri *teknik arsitek dan teknik sipil mah lewat* hehehehehehe~
Saat ini dan selanjutnya aku hanya bisa mengikuti arah angin saja untuk menerbangkan kisah kami. Aku tak ingin menggunakan istilah “akan mengikuti arus saja” dengan alasan, yang pertama, aku tidak bisa berenang dan yang kedua, itu terlalu mendramatisir *emang ‘mengikuti arah angin’ tidak mendramatisir??* hahahahaha
[Backsound of this Story: Senyum Semangat-SM*SH]

Dia Dia Dia...






Malam ini saya kembali memikirkan DIA. Setiap kali aku mengalami konflik dengan orang yang kuanggap sahabat’ aku pasti akan langsung memikirkan DIA.





Suasana hati sedang tidak enak, moreover kondisi kesehatan juga kurang baik… membuatku benar-benar tidak ingin melakukan apapun hari ini dan beberapa hari ke depan. Aku bahkan tidak sanggup menatap lama-lama tumpukan kertas-kertas laporan of which deadline is three days later.
Terdiam dan berbaring sejenak membuatku mengingat konflik hari ini. Konflik yang telah membuatku terpaksa pulang dari kampus meskipun tengah hujan keras. Truthfully, aku juga tidak ingat hal apa tadi yang membuatku pergi begitu saja meninggalkan sahabatku dengan suasana hati yang sedikit marah. Hanya beberapa kata dalam conversation kami tadi dan itu langsung membuatku beranjak pergi darinya.



Inilah yang membuatku kembali mengingat seseorang yang juga pernah kutinggalkan dan sampai sekarang kami tidak pernah bertemu kembali. Dia adalah my first best friend, orang yang pertama kali membuatku percaya akan adanya sahabat. Dia juga orang yang selalu membuatku tertawa, nyaman, dan aman bila berada di sisinya. Dia sangat baik dan sangat takut membuatku terluka. Aku tahu itu karena Dia pernah mengatakannya ketika pernah sekali aku menangis karena Dia. Dia tidak berbuat kesalahan apapun ketika aku memutuskan menjauhinya. Akulah yang bersalah padanya. Sebuah kesalahan besar karena aku telah menganggapnya lebih dari seorang sahabat. And I realize, itu tidak boleh.
               
           Aku tidak ingin perasaanku ini membuatku melakukan kesalahan yang semakin besar. Therefore, aku menjauh dari Dia. Membuat pembatas setinggi mungkin agar tidak bisa bertemu dengannya dan Dia pun tidak akan bisa melihatku lagi. Menghindari setiap kegiatan yang dapat mempertemukanku dengan Dia. Maaf… Maaf… Maaf... Dan beribu-ribu maaf ingin kuucapkan padanya.

          
           Masa yang paling berat yaitu ketika di awal aku menghindarinya. Dia terus berusaha menghubungiku, mengajak ingin bertemu dengan berkata bahwa saat ini dia ingin berbagi cerita tentang masalah dan kebahagiaan yang dialaminya. Entah sekuat apa aku saat itu sehingga mampu menolak semua ajakannya, menghapus pesan-pesan darinya di hp, mengabaikan panggilan masuk darinya, inbox di facebook, mention di twitter, chatting di Yahoo Messanger! dan di berbagai social network yang lain. Itu benar-benar membuatku sakit dan merasa sesak di dada, heartbreak. Saat itu, aku hanya berpikir akan mengabaikan segala tentangnya beberapa waktu saja. Sampai Tuhan membuatku sadar, back to my sense.
Sekarang, setelah bertemu dengan Mr. R, aku sudah mampu mengendalikan perasaanku padanya. Bahkan aku mungkin sudah tidak berpikir lagi tentang ‘menganggapnya lebih dari seorang sahabat’. Tetapi itu sudah terlambat. Aku tidak akan bisa kembali menemuinya seperti dulu lagi. Aku merasa sangat bersalah padanya. Benar-benar tidak ada keberanian untuk mengirimkan pesan singkat padanya,”Kamu dimana? Aku kangen, sahabatku….”